Membayangkan bagaimana puterinya hidup sendiri dan sebentar lagi harus keluar dan rumah dinas ayahnya, mencari rumah kontrakan, karena mereka belum memiliki rumah pribadi. Satu-satunya harta mereka hanya sebuah mobil buatan tahun 1997, itupun diperoleh dengan kredit.
Jangan bu,” cegah Hairunisa. “ Tiga tahun lagi ibu pensiun. Selesaikan pengabdian ibu sebagai hakim yang baik dengan husnul hotimah.” Tapi Nisa bagaimana?” Ningrum Sarjana Hukum memegang tangan puterinya dengan lembut dan sayang.
Ibu tidak usah terlalu memikirkan Nisa, “ sahut Hairunisa tabah. “Nisa bisa kos dekat kampus. Nisa sudah dewasa.” Justru sebaliknya, Nisa sangat kuatir memikirkan ibunya, hidup sendiri jauh di Sulawesi, dalam keadaan lumpuh diatas kursi roda. Kalau tidak ada pembantu, siapa yang akan melayaninya ke kamar mandi, berganti pakaian, menyiapkan makanan dan minuman serta melakukan kegiatan lain. Tak kuasa ia membayangkannya. Untunglah, sehari menjelang kembali ke Jakarta, dengan bantuan seorang Panitera di Pengadilan, seorang perempuan janda setengah baya bersedia menemani, menjaga dan melayani ibunya. Maka dengan berat hati dan desakan ibunya, Hairunisa terbang ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya.......