HAIRUNISA berdiri di seberang gedung Mahkamah Agung, di bawah sebatang pohon yang rindang. Mahasiswi semester akhir Fakultas Hukum sebuah Perguruan Tinggi Negeri, berusia dua puluh dua tahun, cantik, cerdas dan pemberani, sengaja turun di tempat itu dari taksi yang membawanya dari bandara, setelah menempuh penerbangan sekitar dua jam dari sebuah kota di Sulawesi. Matanya tak berkedip memandangi gedung yang megah itu, dengan pandangan penuh perasaan kecewa dan marah. Matahari sore membakar langit, awan-awan menjadi kemerahan, dan burung-burung beterbangan kembali dan pengembaraannya yang jauh. Tiba-tiba pandangan gadis itu mengabur, dadanya sesak, nafasnya tersengal-sengal, bulu romanya merinding dan keringat dingin membasahi tubuhnya.


Gedung Mahkamah Agung yang megah dengan tiang-tiang pilar yang tinggi dan kokoh di bagian depannya, seolah berubah menjadi bangunan tua yang angker, dinding-dindingnya penuh lumut, menyeramkan seperti bangunan dalam film horor. Terbayang di mata gadis itu, di dalam gedung itu, nampak orang-orang berwajah drakula mengenakan toga hitam-hitam sedang bersidang mengelilingi sebuah meja besar, kotor dan berdebu, di sebuah ruangan yang suram, penuh sarang laba-laba. Kemudian muncul seorang perempuan di atas kursi roda masuk ruangan itu, mendekati orang-orang yang mengenakan toga hitam itu, berbicara kepada mereka sejenak. Tapi tiba-tiba orang-orang bertoga hitam itu marah dan mengusir perempuan di atas kursi roda dengan kasar dan tak berperasaan. Waktu berbalik, wajah perempuan di atas kursi roda nampak jelas, ternyata ibunya, Ningrum Sarjana Hukum...