"Astagfirullah!“ seru Hairunisa dan tersadar dan lamunannya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, pandangannya berkunang-kunang, serasa mau jatuh, buru-buru ia berpegangan pada pohon di dekatnya. Ia mengambil saputangan dan dalam tasnya, seraya menyeka peluh di wajahnya.dan menarik nafas dalam-dalam.
Dahulu, semasa di Sekolah Menengah Atas, bila ia melintas di depan gedung Mahkamah Agung itu, hatinya merasa sejuk, nyaman dan bangga, dengan mata berbinar-binar ia membayangkan waktu itu, alangkah bahagianya jika suatu ketika nanti, ibunya menjadi Hakim Agung dan berkantor di gedung yang megah, luas dan penuh wibawa itu, ia akan diajak ibunya ke gedung itu, Hakim-Hakim Agung teman ibunya akan menegumya dengan ramah dan kagum.
"Bu Ningrurn, ini puterinya, ya ? Aduh ... cantik sekali.” Hairunisa makin tersipu malu, kemudian salim, mencium tangan para Hakim Agung itu satu persatu dengan penuh hormat dan santun. Ketika matahari telah terbenam, kegelapan mulai turun, lampu-lampu di jalan-jalan ibukota sudah menyala, Hairunisa memanggil taksi. Ia minta kepada supir taksi supaya di antar ke rumah dinas ayahnya, di kompleks perumahan salah satu Departemen.
Jalan-jalan yang dilalui taksinya penuh kenderaan, macet di mana-mana, sehingga mobil-mobil itu berjalan merayap......