Kursi Bu Hakim ......1

HAIRUNISA berdiri di seberang gedung Mahkamah Agung, di bawah sebatang pohon yang rindang. Mahasiswi semester akhir Fakultas Hukum sebuah Perguruan Tinggi Negeri, berusia dua puluh dua tahun, cantik, cerdas dan pemberani, sengaja turun di tempat itu dari taksi yang membawanya dari bandara, setelah menempuh penerbangan sekitar dua jam dari sebuah kota di Sulawesi. Matanya tak berkedip memandangi gedung yang megah itu, dengan pandangan penuh perasaan kecewa dan marah. Matahari sore membakar langit, awan-awan menjadi kemerahan, dan burung-burung beterbangan kembali dan pengembaraannya yang jauh. Tiba-tiba pandangan gadis itu mengabur, dadanya sesak, nafasnya tersengal-sengal, bulu romanya merinding dan keringat dingin membasahi tubuhnya.


Gedung Mahkamah Agung yang megah dengan tiang-tiang pilar yang tinggi dan kokoh di bagian depannya, seolah berubah menjadi bangunan tua yang angker, dinding-dindingnya penuh lumut, menyeramkan seperti bangunan dalam film horor. Terbayang di mata gadis itu, di dalam gedung itu, nampak orang-orang berwajah drakula mengenakan toga hitam-hitam sedang bersidang mengelilingi sebuah meja besar, kotor dan berdebu, di sebuah ruangan yang suram, penuh sarang laba-laba. Kemudian muncul seorang perempuan di atas kursi roda masuk ruangan itu, mendekati orang-orang yang mengenakan toga hitam itu, berbicara kepada mereka sejenak. Tapi tiba-tiba orang-orang bertoga hitam itu marah dan mengusir perempuan di atas kursi roda dengan kasar dan tak berperasaan. Waktu berbalik, wajah perempuan di atas kursi roda nampak jelas, ternyata ibunya, Ningrum Sarjana Hukum...

Kursi Bu Hakim ......5


Membayangkan bagaimana puterinya hidup sendiri dan sebentar lagi harus keluar dan rumah dinas ayahnya, mencari rumah kontrakan, karena mereka belum memiliki rumah pribadi. Satu-satunya harta mereka hanya sebuah mobil buatan tahun 1997, itupun diperoleh dengan kredit.
Jangan bu,” cegah Hairunisa. “ Tiga tahun lagi ibu pensiun. Selesaikan pengabdian ibu sebagai hakim yang baik dengan husnul hotimah.” Tapi Nisa bagaimana?” Ningrum Sarjana Hukum memegang tangan puterinya dengan lembut dan sayang.
Ibu tidak usah terlalu memikirkan Nisa, “ sahut Hairunisa tabah. “Nisa bisa kos dekat kampus. Nisa sudah dewasa.” Justru sebaliknya, Nisa sangat kuatir memikirkan ibunya, hidup sendiri jauh di Sulawesi, dalam keadaan lumpuh diatas kursi roda. Kalau tidak ada pembantu, siapa yang akan melayaninya ke kamar mandi, berganti pakaian, menyiapkan makanan dan minuman serta melakukan kegiatan lain. Tak kuasa ia membayangkannya. Untunglah, sehari menjelang kembali ke Jakarta, dengan bantuan seorang Panitera di Pengadilan, seorang perempuan janda setengah baya bersedia menemani, menjaga dan melayani ibunya. Maka dengan berat hati dan desakan ibunya, Hairunisa terbang ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya.......

Kursi Bu Hakim ......4


Dua bulan sebelum ayahnya mninggal, ibunya mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan dan harus memakai kursi roda. Kenderaan dinas yang ditumpanginya bertabrakan dengan sebuah truk, tulang-tulang kakinya patah. Supir dan seorang teman hakim yang satu kenderaan dengan ibunya, tewas ditempat kejadian. Ningrum Sarjana Hukum diantar Hairunisa menghadap Ketua Mahkamah Agung untuk menyerahkan surat permohonan peninjauan kembali atas pengangkatannya sebagai Hakim Tinggi di Sulawesi. Hakim perempuan yang berusia enam puluh tiga tahun, lumpuh, memohon dipindah tugaskan ke Jakarta, walaupun hanya sebagai hakim biasa, bukan Hakim Tinggi. Alasannya, agar dapat berobat lebih intensif di Jakarta dan ingin melewati masa tuanya dengan puterinya yang kini hidup sendiri. Ketua Mahkamah Agung memberikan dua pilihan : menerima penugasannya sebagai Hakim Tinggi di Sulawesi atau mengajukan permohonan berhenti. Penguasa disini seperti batu, tidak punya hati nurani,” celetuk Hairunis emosi sambil mendorong kuris roda ibunya melalui koridor gedung Mahkamah Agung. “Tiga puluh tahun ibu jadi hakim, tidak pernah menolak dan memprotes dipindah kemana saja. Baru sekali, karena kondisi ibu. ”Bagaimana kalau ibu mengajukan pensiun saja ? "suara Ningrum Sarjana Hukum prihatin, sedih, setengah putus asa........

Kursi Bu Hakim ......2


"Astagfirullah!“ seru Hairunisa dan tersadar dan lamunannya. Sekujur tubuhnya terasa lemas, pandangannya berkunang-kunang, serasa mau jatuh, buru-buru ia berpegangan pada pohon di dekatnya. Ia mengambil saputangan dan dalam tasnya, seraya menyeka peluh di wajahnya.dan menarik nafas dalam-dalam.
Dahulu, semasa di Sekolah Menengah Atas, bila ia melintas di depan gedung Mahkamah Agung itu, hatinya merasa sejuk, nyaman dan bangga, dengan mata berbinar-binar ia membayangkan waktu itu, alangkah bahagianya jika suatu ketika nanti, ibunya menjadi Hakim Agung dan berkantor di gedung yang megah, luas dan penuh wibawa itu, ia akan diajak ibunya ke gedung itu, Hakim-Hakim Agung teman ibunya akan menegumya dengan ramah dan kagum.
"Bu Ningrurn, ini puterinya, ya ? Aduh ... cantik sekali.” Hairunisa makin tersipu malu, kemudian salim, mencium tangan para Hakim Agung itu satu persatu dengan penuh hormat dan santun. Ketika matahari telah terbenam, kegelapan mulai turun, lampu-lampu di jalan-jalan ibukota sudah menyala, Hairunisa memanggil taksi. Ia minta kepada supir taksi supaya di antar ke rumah dinas ayahnya, di kompleks perumahan salah satu Departemen.
Jalan-jalan yang dilalui taksinya penuh kenderaan, macet di mana-mana, sehingga mobil-mobil itu berjalan merayap......

Kursi Bu Hakim ......3


Seperti undur-undur. ltulah keistimewaan Jakarta, ikon ibukota. Pukul sembilan malam, Hairunisa baru tiba dirumah. Sehari sebelumnya, Hairunisa menghadiri acara pelantikan ibunya, Ningrum Sarjana Hukum sebagai Hakim Tinggi, di sebuah ibukota propinsi di Sulawesi. Ia menyaksikan ibunya dilantik diatas kursi roda dengan perasaan haru yang mendalam. Berusaha untuk tidak menangis. Tetapi ketika teringat almarhum ayahnya, Insinyur Ramabrata, mantan pejabat eselon satu disebuah Departemen, yang selama ini selalu berdua menyaksikan ibunya dilantik ketika pertama kali diangkat sebagai hakim, lalu ketika menjadi Ketua Pengadilan Negeri disebuah Kabupaten di Sumatera, airmatanya tak terbendung lagi. Insinyur Ramabrata, adalah ayah dan sekaligus ibu yang bijak, sabar dan penuh keledanan bagi Hairunisa. Sejak kecil hingga dewasa ia diasuh, dididik dan dijaga oleh ayahnya, karena selama hampir tiga puluh tahun menjadi hakim, ibunya selalu berpindah pindah tugas diluar Jawa, hidup sendiri, terpisah ribuan kilometer dan mereka.
Tiga bulan yang lalu, Insinyur Ramabrata mendadak mneninggal dunia,akibat serangan jantung. Tepat seminggu setelah ibunya menerima surat keputusan pengangkatannya sebagai Hakim Tinggi di Sulawesi. Hairunisa berusaha sekuat tenaga untuk tabah menerima musibah yang datang seolah beruntun...

    Translater

    Followers


    Link

Copyright © Soldier's_Diary
Designed by Templates Next | Converted into Blogger Templates by Theme Craft